Senin, 06 Agustus 2012

ujung tanah, kaki langit (curhatan pertama pendaki gunung amatiran)

Jakarta (dan sekitarnya) sebuah kota Megapolitan dengan bermacam budaya dan keunikannya berdiri congkang sebagai Ibu Kota NKRI. Sebegitu kompleks dan heterogennya Jakarta, sampai akhirnya melahirkan banyak jenis hiburan-hiburan yang bisa kita pilih buat sekedar melepas penat akan rutinitas sehari-hari.

Dari bidang seni musik, ga usah di tanya, banyak banget musisi mainstream dan indie yang punya base di Jakarta. Seni akting dan peran? juga banyak. Banyak teater-teater yang berdiri secara bebas yang mempunyai keunikan masing-masing. Apalagi olahraga, tinggal cek area senayan hari minggu pagi dan lo bakal nemuin segudang komunitas ngumpul dan latian di sana.

Gw juga sebenernya tertarik dengan kegiatan yang berbau musik dan olahraga. Tapi kenapa dari semenjak bangku SMA duluu, saat gw masih muda dan lugu, gw pengen banget ikut perkumpulan pecinta alam. Dan akhirnya hal tersebut gw realisasikan dengan ikut seleksi anggota Mapala UI pas gw (secara kebetulan) masuk UI. Yaah, walaupun pada akhirnya hasilnya tidak memuaskan salah satu pihak (well-fucked).

Tapi dari situ gw dapet ilmu dan pengalaman yang ga ternilai (seriusan). Ga sedikit orang yang bingung, bahkan nanya, "Eh, kenapa lo suka naik gunung sih? kan cuma nyape-nyapein doang." susah sebenernya klo mau ngejawab pertanyaan macem itu. Dari pengalaman, pengetahuan sama cara pandang aja beda, ya ga mungkin gw menyampaikan apa yang gw maksud dan bisa ditangkep secara baik oleh si penerima.

Ibarat kata gw sukanya minum es buah yg di atasnya di siramin sirop stroberi, sedangkan si penerima sukanya minum jus mengkudu dengan taburan urea. ya jelas ga bisa dibandingin. Jadi, gw terangin secara garis besar aja ya bre. Naik gunung emang ga beda jauh dengan aktifitas yang menguras tenaga lain. SALAH. ya beda lah, kan tadi perumpamaannya udah gw kasih tau.  

Naik gunung itu capek. banget. 
Klo ujan, basah, kedinginan. Alamat ga bisa tidur. Alamat palsu *loh
Klo air tinggal dikit, ngirit. daripada keabisan.
Klo yg bagian masak ransum failed, pait. mesti makan nasi setengah beras. Mentok-mentok mie instan, yang berbuntut pada penurunan kinerja otak akibat konsumsi Monosodium Glutamat (baca:micin) yang berlebihan.
Klo tidur empet-empetan, ga nyenyak. Alamat ga bisa tidur (lagi)

Tapi, dari semua kepaitan dan kelayuan itu, ada banyak hal yg bisa kita mengerti secara tersirat. Lo bakal mengerti betapa asiknya mengistirahatkan raga lo setelah cape, cape, bgt setelah jalan nanjak. Lo bakal merasa bahwa istirahat yang sebentar itu, yg biasanya diisi sama minum-minum kopi atau makan snack-snack - yang notabene lo cuma duduk di atas batu/kayu di tempat yg jauh dari peradaban, sangat indah. Lo bakal ketawa tanpa alasan yg jelas. lo bakal ketawa walaupun joke yg rekan lo omongin ga lucu. sama sekali.

Lo bakal mengerti, siang dan malam yang biasanya lo habiskan dan lewatkan di kota, ternyata indah dan dalem banget. Lo bakal lebih seneng menghabiskan malam lo di luar tenda, bukan di dalemnya (kecuali klo ujan, deres). Makanan yang lo makan bakal terasa lebih... aneh. hahahaha. Yaiyalah, koki dadakan yg paling hebat cuma masak telor ceplok, disuruh masak macem-macem. Tapi, yah, well-served lah overall.

Tapi hal yg paling gw puja dari naik gunung adalah, kebebasannya. Bener banget. Pas naik gunung itu cuma ada Lo, temen-temen lo dan alam. Lo ga perlu pusing mikirin kuliah, mikirin nilai, mikirin pacar, mikirin organisasi, mikirin hal2 apapun yang bikin lo muak. Lo bisa bebas teriak klo lo muak. Lo bisa berbicara dengan alam dan mengerti bahwa semua yang ada di dunia ini saling terhubung. 

Lo bakal menghargai apa aja hal-hal yg lo punya, karena saat mendaki, lo ga bakal membawa apa-apa kecuali badan, tas dan nyali. Lo bakal sadar hal-hal kecil kaya minum, ngakak guling-gulingan di kosan temen, nonton tv, dll,  itu jadi berharga banget.

Buat gw, naik gunung itu pelarian yang melelahkan. Bukan buat lari dari kenyataan, tapi buat lari lebih dekat ke ujung tanah dan lebih tinggi ke kaki langit. 

Ahahahaha. Nampaknya panjang juga tulisan saya. Oke saya kasih beberapa foto pendakian pertama

Tim pendakian pertama (dari kiri --> Mentor Yoyo, Oci, Dila, Gw, Hiko)
Tim pendakian pertama (Mentor Yoyo, Oci, Dila, Gw, Hiko)

Lembah Surya Kencana, pas banget kabut, Boker style
Lembah Surya Kencana+matahari = Heaven's Tail


Tidak ada komentar:

Posting Komentar